PEMBARUAN HUKUM KELUARGA DI DUNIA MUSLIM :
Sejarah, Gerakan dan Perbandingan
Oleh : Yusdani
Abstract
The modern
legislation in the field of law, especially in the family law at beginning of
twentieth century entered and influenced on the Moslem family law. The
characteristics of modern legislation was unification, codification, written
law and the certainty of law . Toward the demand and the challenge of modern
legislation, Moslem Countries have applied the books of fiqh that produced in
the classical and the medieval period emerged ambivalent attitude. On one hand
a group of Moslem scholar of fiqh thought that they must be guided by the books
of fiqh school. On the other, they thought, they needed to harmonize the
materials of law in the books of fiqh school with demanding modern legislation,
for instance that conducted by Egypt, Pakistan, and Indonesia. So in the context of how to place the
position of the result of thinking in family law in modern of Moslem world
proportionally, it is urgent to research why and what background of the family
law reform in Egypt, Pakistan, and Indonesia by using historical and
comparative approach. The result of this research revealed that (1)the reason
for Egypt, Pakistan and Indonesia to reform the family law is to fulfill the
demand and the challenge of modern legislation,(2) the method of family
law reform in three countries above
combines the principle of the public interest and the method of siyasah,
tatbiq, takhayyur and tajdid, (3) the materials of family law in three
countries, either in the Marriage act, in heritance law, in testament law or
the others remove from the books of fiqh, and in many cases of the materials
differ from the books of fiqh fundamentally.
Key words : Modern Legislation, Moslem Family Law, Reform
LATAR BELAKANG MASALAH
Pada zaman modern, khususnya abad ke-20,
bentuk-bentuk literatur hukum Islam telah bertambah dua macam, selain fatwa,
keputusan pengadilan agama, dan kitab fiqh. Adapun yang pertama ialah
Undang-Undang yang berlaku di negara –negara muslim khususnya mengenai hukum
keluarga. Sedangkan yang kedua adalah Kompilasi Hukum Islam yang sebenarnya
merupakan inovasi Indonesia. kompilasi bukan kodifikasi, tetapi juga bukan
kitab fiqh (Mudzhar, 1999:113).
Sikap para ulama terhadap
diundangkannya materi-materi hukum keluarga di negara-negara muslim telah
menimbulkan pandangan pro dan kontra, bahkan perdebatan sengit antara
ulama-ulama yang tetap ingin mempertahankan ketentuan-ketentuan hukum yang lama
dengan kalangan pembaru baik dalam persoalan-persoalan, baik yang menyangkut
metodologi maupun substansi hukumnya (Donohue dan Esposito,1995: 365-366).
Sebagai contoh misalnya, dengan diberlakukannya Undang-Undang No. 1 tahun 1974
tentang Perkawinan dan Undang-Undang No.7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama,
umat Islam Indonesia telah memiliki peraturan perundang-undangan yang memadai
untuk mengatur masalah-masalah keluarga, perkawinan, perceraian dan warisan.
Sementara sebagian ulama tradisional Indonesia masih ada yang belum sepenuhnya
memahami atau menyetujiui berbagai aturan dalam kedua undang-undang tersebut
karena dianggap tidak selamanya sesuai dengan apa yang termuat dalam
kitab-kitab fiqh.
Akan tetapi sebagian ulama lain merasa bangga
dengan lahirnya kedua undang-undang itu karena dianggap sebagai kemajuan besar
dalam perkembangan pemikiran hukum Islam di Indonesia. Apalagi dengan
disepakatinya hasil Kompilasi Hukum Islam oleh para ulama Indonesia pada tahun
1988 yang kemudian diikuti oleh Instruksi Presiden No. 1 tanggal 10 Juni 1991
untuk menyebarluaskan dan sedapat mungkin menerapkan isi kompilasi tersebut,
hal ini telah menandai lembaran baru dalam perkembangan pemikiran Islam di
Indonesia khususnya dalam bidang hukum keluarga (Mudzhar,1999 : 173).
Untuk meletakkan hasil pemikiran hukum Islam dalam bidang hukum
keluarga di dunia muslim secara benar dalam perspektif perkembangan pemikiran
hukum Islam, penelitian terhadap
materi-materi atau naskah-naskah kitab undang-undang hukum keluarga yang
berlaku di negara-negara muslim menjadi penting. Oleh karena itu, penelitian
ini diberi judul Pembaruan Hukum Keluarga di Dunia Muslim : Sejarah, Gerakan
dan Perbandingan.
PERMASALAHAN
Berpangkal tolak dari dasar-dasar
pemikiran di atas, yang menjadi pokok permasalahan dalam penelitian ini
adalah :
1. Mengapa kaum muslim pada era moderen di satu pihak
melakukan pembaruan hukum keluarga sedangkan di sisi lain kaummuslim masih
terikat dengan fiqh mazhab ?
2.Bagaimana negara-negara muslim di atas melakukan mereformasi
hukum keluarga mereka ?
3.Materi-materi apa
dalam undang-undang hukum keluarga
yang berlaku di negara-negara muslim berbeda secara fundamental dengan
kitab-kitab fiqh ?
STUDI PUSTAKA
Negara-negara muslim di dunia ini dalam hubungannya
dengan reformasi hukum keluarga dapat dikategorikan menjadi (1) Negara muslim
yang sama sekali tidak mau melakukan pembaruan dan masih tetap memberlakukan
hukum keluarga sebagaimana yang tertuang dalam kitab-kitab fiqh dari mazhab
yang dianut. Saudi Arabia merupakan contoh dari negara muslim yang termasuk
kategori ini, (2) Negara muslim yang sama sekali telah meninggalkan hukum
keluarga Islam (fiqh) dan sebagai gantinya mengambil hukum sipil Eropa. Turki
adalah contoh negara yang termasuk kelompok ini, dan (3) Negara-negara muslim
yang berusaha memberlakukan hukum keluarga Islam setelah mengadakan pembaruan.
Di antara negara yang termasuk kelompok ini adalah Mesir, Tunisia, Pakistan dan
Indonesia (Anderson, 1975:82-91).
Pembaruan dalam bidang hukum keluarga di dunia muslim
ditandai tidak saja oleh penggantian hukum keluarga Islam (fiqh) dengan
hukum-hukum Barat, tetapi juga oleh perubahan-perubahan dalam hukum Islam itu
sendiri yang didasarkan atas reinterpretasi (penafsiran kembali) terhadap hukum
Islam sesuai dengan perkembangan penalaran dan pengamalannya. Dengan cara
inilah hukum keluarga di dunia muslim
mengalami perubahan. Tujuan utama pembaruan hukum keluarga tersebut
adalah meningkatkan status atau kedudukan kaum wanita dan memperkuat hak-hak
anggota keluarga (Donohue dan Esposito,1995:364-365).
Di samping itu, ada juga pembahasan persoalan gender dan
dampaknya terhadap perkembangan hukum Islam” yang memfokuskan pada permasalahan
bahwa pembaruan hukum keluarga di dunia muslim bertujuan untuk melindungi dan
meningkatkan derajat kaum wanita (Mudzhar,1999:121).
Pembahasan pembaruan hukum keluarga di negara-negara
muslim tersebut ada penelitian atas 22 negara muslim yang terdiri dari 13
negara Arab dan 9 negara non-Arab. Pembahasan di atas meliputi latar belakang
sejarah pembaruan hukum keluarga di negara-negara muslim, teks-teks
perundang-undangan masing-masing dari 22 negara, dan mempergunakan analisa
perbandingan (Mahmood,1987).
Penelitian-penelitian di atas belum membahas secara
rinci mengenai hal-hal yang melatarbelakangi munculnya pembaruan pemikiran
hukum keluarga di dunia muslim, sifat dan metode ijtihad yang dipergunakan kaum
muslim dalam mereformasi hukum keluarga dan bagaimana meletakkan hasil
pemikiran hukum Islam dalam bidang hukum keluarga di dunia muslim secara benar
dan bertanggungjawab dalam perspektif perkembangan pemikiran hukum Islam.
KERANGKA TEORI
Dalam perspektif historis, pembaruan hukum Islam
menampakkan diri dalam bentuk (1) kodifikasi (pengelompokkan hukum yang sejenis
ke dalam kitab undang-undang) hukum Islam menjadi hukum perundang-undangan
negara, yang dinamakan sebagai doktrin siyasah,(2) tidak terikatnya umat
Islam hanya pada satu mazhab hukum tertentu, yaitu disebut doktrin takhayyur(seleksi)
pendapat yang paling dominan dalam masyarakat, (3) penerapan hukum terhadap
peristiwa baru, yang disebut doktrin tatbiq, dan (4) perubahan hukum
dari yang lama kepada yang baru yang dinamakan tajdid-reinterpretasi(Coulson,1994:149-185).
METODE
Penelitian ini bersifat penelitian pustaka (library
research) yang sumber utamanya adalah buku Personal Law in Islamic
Countries : History, Texts and Comparative Analysis karya Tahir Mahmood
yang diterbitkan di New Delhi oleh penerbit Academy of Law and Religion 1987.
Di samping sumber tersebut juga didukung buku-buku dan jurnal yang secara
langsung berhubungan dengan pokok permasalahan penelitian.
Negara muslim yang peneliti teliti dalam penelitian ini
adalah tiga negara, yaitu Mesir mewakili negara muslim Timur Tengah yang
termasuk negara muslim yang memperbarui hukum keluarga periode awal, Pakistan
mewakili negara muslim Asia Selatan yang melakukan pembaruan hukum keluarga
periode kedua dan Indonesia mewakili kawasan Asia Tenggara yang memperbarui
hukum keluarga termasuk periode akhir.
Pendekatan yang dipergunakan dalam penelitian ini
mengkombinasikan pendekatan normatif dan pendekatan historis. Pendekatan
normatif adalah melihat aturan-aturan
yang terkandung dalam hukum keluarga Mesir, Pakistan dan Indonesia. Sedangkan
yang dimaksud dengan pendekatan historis yaitu melihat bagaimana latar belakang
sejarah timbulnya pembaruan hukum keluarga di Mesir, Pakistan dan Indonesia
dahulu, bagaimana perkembangannya masa kini dan bagaimana pula prospeknya pada
masa mendatang, dengan kata lain pendekatan yang peneliti pergunakan dalam
penelitian ini adalah pendekatan sejarah sosial (Mudzhar,1998:105).
Metode analisis yang peneliti pergunakan dalam penelitian ini adalah content analysis atau
analisis isi (Muhajir,1993:49) terhadap materi-materi perundang-undangan hukum
keluarga yang berlaku di Mesir, Pakistan dan Indonesia. Analisis isi tersebut
dilakukan dengan langkah-langkah atau prosedur ekstraksi dan reduksi data yang memperhatikan obyektivitas, sistematis
dan generalisasi. Kemudian dilakukan interpretasi, abstraksi (Mahfud,1999:14)
dan penjabaran (Sutiyoso,1999:133) terhadap isi atau kandungan yang terdapat
dalam perundang-undangan hukum keluarga Mesir, Pakistan dan Indonesia.
Di samping itu,
peneliti juga menggunakan analisa perbandingan
antarmateri perundang-undangan hukum keluarga yang berlaku di
negara-negara muslim dan antara perundang-undangan hukum keluarga yang sekarang
berlaku di Mesir, Pakistan dan Indonesia dengan kitab-kitab fiqh, dan akhirnya
peneliti membuat kesimpulan.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
1.Hukum Keluarga Mesir,
Pakistan dan Indonesia
Undang-undang yang
terbit di bidang hukum keluarga di Mesir adalah Ordonansi Susunan Pengadilan
Agama tahun 1897, Undang-Undang No. 25 tahun 1929 tentang Beberapa Ketentuan
Hukum Keluarga, Undang-Undang No. 78 tahun 1931 tentang Susunan Pengadilan
Agama, Undang-Undang Kewarisan dan Wasiat dan Undang-Undang Wakaf yang terbit
tahun 1943 dan 1946, dan Undang-Undang No. 44 tahun 1979 tentang Beberapa
Ketentuan Hukum Keluarga. Sedangkan undang-undang terpenting mengenai keluarga
di Pakistan adalah Child Marriage Restraint Act,1929, Dissolution of Muslim
Marriages Act, 1939 dan Muslim Family Laws Ordinance,1961(Siraj,1993:104).
Asal muasal
pengadilan agama di Indonesia dapat ditelusuri dari penghulu atau kepala
administrasi masjid daerah, yang mengurusi urusan keluarga serta warisan dari
sejak abad ke-16. Pada saat itu. Pengadilan agama dilaksanakan di serambi
masjid dan keputusannya didasarkan pada mazhab Syafi’i ( Cammack,1992 :30).
Pada tahun 1882 dikeluarkan dekrit yang menetapkan
pengadilan dalam bentuknya yang sekarang. Dekrit ini menetapkan bahwa
pengadilan agama harus didirikan di daerah yang telah mempunyai pengadilan
pemerintah dan wilayah yuridiksi pengadilan agama harus pula bersinggungan dengan
wilayah pengadilan pemerintah (Cammack,1992:30). Pada tahun 1946 pemerintah
Indonesia menetapkan suatu keputusan agar umat Islam mencatatkan perkawinan dan
perceraian mereka ( UU No,22/1946).
Pada tahun
1974 pemerintah Indonesia bersama DPR
menetapkan UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan sebagai undang-undang
perkawinan nasional Indonesia, yang kemudian disusul dengan terbitnya Peraturan
Pemerintah No.9 tahun 1975 sebagai petunjuk pelaksanaan UU No.1 tahun 1974
tersebut ( Mahmood, 1987 : 207 dan 212). Kemudian pada tahun 1983 keluar
Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 1983 tentang peraturan Poligami bagi Pegawai
Negeri Sipil Indonesia (Mudzhar,1999: 117).
Perkembangan
selanjutnya adalah pada tahun 1989 Pemerintah Indonesia bersama DPR mengesahkan
UU No. 7 tahun 1989 tentang UU Peadilan Agama yang berisi berbagai peraturan
beracara di pengadilan Agama. Kemudian disusul dengan terbitnya Kompilasi Hukum
Islam (KHI). Kompilasi Hukum Islam tersebut didukung oleh Inpres No. 1 tahun
1991 sebagai peraturan untuk pemasyarakatannya.
Kompilasi di atas sebenarnya adalah inovasi Indonesia. Kompilasi bukan
kodifikasi, tetap juga bukan kitab fiqh ( Mudzhar,1999 :113).
2.Masalah batas umur untuk kawin.
Pasal 7 ayat (1)
Undang-undang perkawinan No. 1 tahun 1974 menyatakan bahwa perkawinan hanya
diizinkan jika pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah
mencapai umur 16 tahun. Sedangkan Hukum
Keluarga di Mesir menjelaskan bahwa perkawinan hanya dapat diizinkan jika
laki-laki berumur 18 tahun dan wanita berumur 16 tahun, demikian juga dalam
Hukum Keluarga di Pakistan dinyatakan bahwa
perkawinan dapat dilakukan jika laki-laki sudah berumur 18 tahun dan
wanita berumur 16 tahun (Mahmood, 1987 :270). Batas
umur kawin untuk Indonesia di atas, jika dibandingkan dengan batas umur
kawin baik di Mesir maupun Pakistan
sebenarnya sama, kecuali untuk laki-laki
relatif tinggi.
3..Masalah pencatatan perkawinan.
Pasal 2 ayat (2) UU
Perkawinan No.1 tahun 1974 menyatakan bahwa tiap-tiap perkawinan dicatat
menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Usaha untuk menetapkan
pencatatan perkawinan di Mesir dimulai dengan terbitnya Ordonansi Tahun 1880
yang berisi ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan pegawai-pegawai pencatat
nikah dan dasar-dasar pemilihan dan pengangkatan mereka serta menyerahkan
pelaksanaan pencatatan nikah itu kepada kemauan para pihak yang berakad dan
pertimbangan kepentingan mereka. Ordonansi Tahun 1880 itu didikuti dengan
lahirnya Ordonansi Tahun 1897 yang pasal 31-nya menyatakan bahwa gugatan
perkara nikah atau pengakuan adanya hubungan perkawinan tidak akan didengar
oleh pengadilan setelah meninggalnya salah satu pihak apabila tidak dibuktikan
dengan suatu dokumen yang bebas dari dugaan pemalsuan. Sedangkan di Pakistan
telah timbul pemikiran tentang kewajiban mencatatkan perkawinan dengan
ditetapkannya suatu ketentuan yang termuat dalam pasal 5 Ordonansi Hukum
Keluarga Islam Tahun 1961 (Muslim Family Laws Ordinance,1961). Dalam pasal ini
ditegaskan bahwa yang berwenang mengangkat pejabat-pejabat pencatat nikah dan
mengizinkan mereka untuk melakukan pencatatan akad nikah adalah Majelis
Keluarga(Union Council) dan bahwa majelis ini memberi izin untuk melakukan
pekerjaan tersebut hanya kepada satu orang pada setiap daerah tertentu. Sesuai
dengan pasal tersebut, perkawinan yang tidak dicatat tidaklah dianggap batal.
Hanya saja para pihak berakad dan saksi yang melanggar ketentuan ordonansi itu
dapat dihukum karena tidak mencatatkan nikah itu, dengan hukuman penjara
selama-lamanya tiga bulan dan hukuman denda setinggi-tingginya seribu rupiah.
Ketentuan hukuman ini sama sekali tidaklah bertentangan dengan dengan asas-asas
pemikiran hukum pidana Islam, yang justru memberi hak kepada penguasa untuk
memberikan hukuman ta’zir bila diperlukan guna mempertahankan
kepentingan-kepentingan yang dikehendaki oleh syara’ (Siraj,1993:106).
Dari tiga negara tersebut terdapat kesamaan pandangan
tentang perlunya akad nikah diaktakan. Pentingnya diaktakan akad perkawinan di
atas karena menyangkut persoalan asal-usul anak, kewarisan dan nafkah. Akan
tetapi tiga negara di atas belum sampai kepada sikap dan pandangan bahwa
pencatatan nikah termasuk rukun baru dari akad nikah. Hal ini dapat dilihat
dari masih dianggap sah suatu pernikahan yang tidak dicatat.
4. Masalah cerai di depan pengadilan
Pasal 39 ayat (1)
UU Perkawinan No. 1 tahun 1974 menyatakan bahwa perceraian hanya dapat
dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan
berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. Aturan ini berbeda
dengan kitab-kitab fiqh klasik yang menyatakan bahwa talak dapat terjadi dengan
pernyataan sepihak dari suami, baik
secara lisan maupun tertulis, secara bersungguh-sungguh
atau bersenda gurau (Mudzhar,1999:116).
Di Pakistan, menurut UU tahun 1961 dinyatakan bahwa
seorang suami masih dapat menjatuhkan talak secara sepihak di luar pengadilan,
tetapi segera setelah itu ia diwajibkan melaporkannya kepada pejabat pencatat
perceraian yang kemudian akan membentuk Dewan Hakam (Arbitrasi) untuk menengahi
dan mendamaikan kembali pasangan suami isteri itu. Jika setelah 90 hari usaha
perdamaian itu gagal, talak itu berlaku.
Di Mesir sampai terbitnya Undang-Undang Tahun 1979
tentang beberapa ketentuan hukum keluarga
menghendaki dibatasinya hak talak suami dengan cara mewajibkannya
mencatatkan talak pada waktu dijatuhkan dan memberitahukan kepada isterinya.
Jika tidak, ia dapat dikenai hukuman kurungan selama-lamanya enam bulan dan
denda sebanyak-banyaknya dua ratus pound, dan talak hanya menimbulkan akibat
hukum sejak dari tanggal diketahuinya oleh isteri. Undang-undang itu juga
menetapkan untuk janda yang ditalak setelah dicampuri suatu pemberianmutah yang
besarnya sama dengan nafkah selama dua tahun (Mahmood,1987: 31-32).
5. Poligami
Pasal 3 ayat (1)
dan (2) UU Perkawinan No. 1 tahun 1974 menyatakan bahwa pada dasarnya dalam
suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri. Juga
seorang wanita hanya bolaeh mempunyai seorang suami. Pengadilan dapat memberi
izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila
dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Kemudian dalam PP No.9 tahun
1975 pasal 40 dinyatakan bahwa apabila seorang suami bermaksud untuk beristeri
lebih dari satu, ia wajib mengajukan permohonan secara tertulis kepada
pengadilan. Ketentuan-ketentuan tersebut pada dasarnya mempersulit terjadinya
poligami, bahkan bagi pegawai negeri berdasarkan PP No. 10 tahun 1983 poligami
praktis dilarang.
Di Mesir menurut
pasal 6 Undang-Undang tahun 1979 dan Ordonansi tahun 1929 (Mahmood,1987
:273-274)poligami dianggap sebagai menyakiti isteri sehingga memberinya hak
untuk meminta pemutusan perkawinan selama ia tidak setuju atau belum lewat
waktu satu tahun sejak ia mengetahui kejadian pernikahan suaminya dengan wanita
lain. Hal ini berbeda dengan keadaan sebelumnya hak minta pemutusan perkawinan
itu diberikan kepada isteri apabila dengan poligami itu terbukti adanya
kesakitan yang dialami isteri (Siraj,1993 : 108-109).
Hukum Pakistan
mengikuti garis perkembangan yang sama dalam masalah poligami. Dalam
Undang-Undang Pemutusan Perkawinan Islam Tahun 1939 dinyatakan bahwa wanita
berhak minta pemutusan perkawinan apabila terbukti ia mendapat kesakitan karena
poligami. Kemudian diterima pandangan yang membatasi poligami, akan tetapi
dilakukan dengan cara yang berbeda dengan cara yang diambil oleh hukum Mesir.
Ordonansi Pakistan Tahun 1961 menyatakan wajibnya seorang yang ingin melakukan
poligami memperoleh persetujuan majelis keluarga yang akan mengangkat suatu
badan arbitrasi yang mencakup wakil isteri , dan badan arbitrasi ini tidak akan
mengeluarkan persetujuan sang suami mengambil satu isteri lagi sebelum ia yakin
betul terhadap keadilan dan perlunya suami kawin lagi. Pasal 6 Ordonansi
Pakistan Tahun 1961 itu menetapkan bahwa suami yang melakukan perkawinan kedua
dengan wanita lain tanpa memperoleh persetujuan tersebut, dapat dikenakan
hukuman penjara selam-lamanya satu tahun dan denda sebanyak-banyaknya lima ribu
rupiah, dan isteri terdahulu memperoleh hak atas talak
(Mahmood,1987:245-246).
Dari sudut
pandangan fuqaha modern, dengan menetapkan hukuman seperti itu atas semata-mata
poligami, ordonansi tersebut telah sampai pada batas pelanggaran terhadap
filsafat fiqh yang menegaskan bahwa tidak ada hukuman dalam melakukan perbuatan
yang dibenarkan syara’(Siraj,1993:109).
6.Bagian warisan anak laki-laki dan perempuan
Pasal 176 Kompilasi
Hukum Islam Indonesia menyatakan bahwa jika anak perempuan menjadi ahli waris
bersama-sama anak laki-laki, bagian anak laki-laki adalah dua berbanding satu
dengan anak perempuan. Kemudian pasal 183 Kompilasi Hukum Islam tersebut
menyatakan bahwa para ahli waris dapat bersepakat melakukan perdamaian dalam
pembagian harta warisan setelah masing-masing menyadari bagiannya.
Ide pokok dari kedua diktum di atas adalah bahwa sesuai dengan ajaran
Alquran, bagian anak laki-laki adalah dua kali lipat bagian anak perempuan,
tetapi untuk memberikan bagian yang sama kepada ahli waris laki-laki dan
perempuan asalkan para ahli waris itu sendiri sepakat demikian. Demikianlah
cara ulama Indonesia melakukan kompromi dengan budaya lokal (
Mudzhar,1999:119). Di Mesir dan Pakistan tidak ada yang mempersoalkan masalah
besarnya bahagian laki-laki dan wanita, dua berbanding satu ini (Mudzhar,1998:184).
7. Wasiat wajib
Pada tahun 1946
lahir Undang-Undang Kewarisan Mesir yang berisi pemecahan fiqh terhadap masalah
tidak diberikannya bagian warisan kepada cucu-cucu yang ayah atau ibu mereka
telah meninggal lebih lebih dahulu dari kakek atau nenek mereka, dan
tertutupnya cucu-cucu tersebut oleh orang-orang dari lapisan yang lebih di atas
dari mereka. Pemecahan cemerlang yang diberikan oleh undang-undang ini
tercermin dalam konsep wasiat wajib yang didasarkan pada pengandaian
bahwa kakek atau nenek telah berwasiat untuk cucu-cucunya dengan sejumlah
peninggalan yang besarnya sama dengan bagian yang sedianya akan diterima oleh
ayah atau ibu mereka yang telah meninggal semasa hidupnya kakek atau nenek
mereka ( Mahmood,1987 : 303 dan Siraj,1993:112-113).
Sedangkan di
Pakistan, Ordonansi 1961 berpegang kepada prinsip penggantian tempat secara penuh oleh para cucu terhadap
orangtua mereka yang sudah meninggal sewaktu kakek/nenek masih hidup. Cucu-cucu
tersebut mengambil bagian ayah mereka seandainya ia masih hidup pada waktu
meninggalnya kakek/nenek. Oleh karena itu, seandainya seseorang wafat dan
meniggalkan seorang anak lelaki dan seorang anak lelaki dari anak lelaki yang
ayahnya telah meninggal lebih dahulu dari seorang, serta anak perempuan dari
anak perempuan yang ibunya juga telah meninggal lebih dahulu dari seorang yang
wafat tersebut, harta peninggalan dibagi lima bagian :anak lelaki simati
mengambil dua bagian, cucu lelaki dari pancaran anak lelaki mengambil dua
bagian juga dan cucu perempuan pancaran perempuan mengambil satu bagian yang
sedianya akan diambil oleh ibunya seandainya ibunya masih hidup (Siraj,1993:114
dan Mahmood,1987:303). Ketentuan yang dipegangi oleh Ordonansi Pakistan ini,
seperti dikatakan Coulson, sangat kontras dibandingkan dengan cara
undang-undang Mesir menangani problem yang sama melalui wasiat wajib, suatu
sistem yang jelas dapat ditemukan dasar-dasarnya dalam sumber-sumber fiqh
tradisional ( Coulson,1994:203).
Mengenai wasiat wajib terhadap cucu yatim, pasal 185 Kompilasi Hukum Islam
Indonesia menyatakan bahwa ahli waris yang meninggal lebih dahulu daripada si
pewaris, kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya. Pasal ini sesuai dengan
ijtihad para ulama Mesir yang melalui Hukum Waris tahun 1946 menyatakan bahwa
seorang anak yang lebih dahulu meninggal dunia dan meninggalkan anak pula, cucu
itu mengantikan ayahnya dalam mewarisi kakeknya atau neneknya dengan cara
memperoleh wasiat wajib tidak lebih dari
sepertiga harta. Dalam kitab-kitab fiqh klasik tentu saja ketentuan-ketentuan
demikian itu tidak ada, karena warisan pada dasarnya hanya untuk ahli waris
yang masih hidup. Langkah Mesir itu dipandang lebih mendekati keadilan
(Mudzhar,1998:184)
KESIMPULAN
Sebagai penutup dari pembahasan-pembahasan terdahulu,
dapat dikemukakan kesimpulan sebagai
berikut :
1.Bahwa reformasi hukum keluarga yang
dilakukan oleh Mesir, Pakistan dan Indonesia merupakan upaya menjawab tantangan
modernitas dalam bidang hukum keluarga, karena pemahaman konvensional yang mapan tentang berbagai ayat Alquran,
hadis dan kitab-kitab fiqh tidak mampu menjawab tantangan dan problema hukum
keluarga yang muncul pada era moderen.
2.Bahwa metode ijtihad yang dipergunakan oleh
Mesir, Pakistan dan Indonesia dalam memperbarui hukum keluarga adalah
mengkombinasikan berbagai metode ijtihad yang biasanya dipergunakan oleh ulama
usul al-fiqh -maslahat- dengan mempertimbangkan tuntutan legislasi modern.
3.Bahwa materi-materi
hukum keluarga di Mesir, Pakistan dan Indonesia baik dalam bidang
perkawinan, warisan, wasiat dan lain-lain telah bergeser dari kitab-kitab fiqh
mazhab bahkan dalam hal-hal tertentu materi-materi hukum keluarga tersebut
berbeda secara fundamental dari kitab-kitab fiqh.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Sulaeman.1996. Dinamika Qiyas dalam
Pembaharuan Hukum Islam: Kajian Konsep Qiyas Imam Syafi’i. Jakarta :
Pedoman Ilmu Jaya.
Abdurrahman.1992. Kompilasi Hukum Islam di
Indonesia. Jakarta : Akademika Pressindo.
Ahmad, Amrullah dkk (Ed.). 1996. Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional: Mengenang 65 Th
Prof.Dr.H. Bustanul Arifin, SH. Jakarta: Gema Insani Press.
Anderson, J.N.D 1975. Islamic Law in the Modern
World. New York :New York University Press.
Anderson, J.N.D. . 1976. Law Reform in the Muslim
World. London : University of London Press.
Cammack,Mark.1993. “Hukum Islam dalam politik Hukum
Orde Baru “ dalam Sudirman Tebba (editor ) Perkembangan Hukum Islam di Asia
Tenggara Studi Kasus Hukum Keluarga dan Pengkodifikasiannya. Bandung :
Mizan. Hlm. 27-54.
Coulson, N.J. 1969. Conflicts
and Tensions in Islamic Jurisprudence. Chicago dan London: the University
of Chicago Press.
Coulson, N.J.1994. A History of Islamic Law. Edinburgh:
Edinburgh University Press.
Donohue, John J.. dan John L. Esposito.1995. Islam
dan Pembaharuan Ensiklopedi Masalah-Masalah. Kata Pengantar M. Amin
Rais.Terj.Machnun Husein dari judul asli Islam in Transition : Muslim
Perspective. Jakarta : Radjawali Press.
Esposito, John L..1982. Women in Muslim Family
Law. Syracus: Syracus University Press.
Faruki, Kemal.1965. “ Orphaned Grandchildren in
Islamic Succession Law”, dalam Islamic
Studies. Karachi, Vol.3, hlm.262.
Islam, Negara dan Hukum.1993. – Kumpulan
karangan di bawah redaksi Johannes den
Heijer dan Syamsul Anwar. Jakarta : INIS.
Jauziyah, Ibn al-Qayyim al. 1955. A’lam al-Muwaqi’in. Mesir:
Maktabah at-Tijariyah.
Jaziri,Abd al- Rahman al-. Tanpa Tahun. al-Fiqh
ala Mazahib al-Arba’ah. Mesir : Maktabah al-Tijariyah al-Kubra.
Khallaf, Abdul Wahhab.Tanpa Tahun. Ilm Usul al-Fiqh. Mesir :
Maktabah ad-Dakwah.
Mahmood, Tahir.1972. Family Law Reform in the
Muslim World. Bombay:Tripathi.
Mahmood, Tahir.1987. Personal Law in Islamic
Countries : History, Text and Comparative Analysis. New Delhi : Academy of
Law and Religion.
MD. Moh. Mahfud, Sidik Tono dan Dadan Muttaqien
(Editor).1993. Peradilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam dalam Tata Hukum
Indonesia. Yogyakarta : UII-Press.
M.D. , Moh. Mahfud.1999. Karakter Produk Hukum Zaman Kolonial dan
Karakter Produk Hukum pada Zaman Penjajahan di Indonesia. Yogyakarta :UII-Press.
Mu’allim, Amir dan Yusdani. 1999. Konfigurasi Pemikiran Hukum
Islam. Yogyakarta : UII-Press.
Mudzhar, M. Atho. 1998a. Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan Praktek. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Mudzhar, M. Atho.1993. Fatwa-Fatwa Majelis Ulama Indonesia :
Sebuah Studi Hukum Islam di Indonesia 1975-1988. Disertasi pada UCLA Terj.Soedarso
Soekarno dari judul Bahasa Inggris Fatwas of The Council of Indonesian Ulama
: A Study of Islamic Legal Thought in
Indonesia 1975-1988. Edisi Dwibahasa (Indonesia dan Inggris ). Jakarta
:INIS.
Mudzhar, M. Atho.1999. Studi Hukum Islam dengan Pendekatan Sosiologi, Pidato
Pengukuhan Guru Besar Guru Besar Madya
Ilmu Sosiologi Hukum Islam, 15 September
1999. Yogyakarta : IAIN Sunan Kalijaga.
Mudzhar, M. Atho’.1998. Membaca Gelombang Ijtihad
: Antara Tradisi dan Liberasi. Yogyakarta: Titian Ilahi Press.
Mudzhar, M. Atho’.1999. “ Dampak Gender Terhadap
Perkembangan Hukum Islam” dalam Profetika Jurnal Studi Islam, Vol.1
No.1 1999. Hlm.110-123.
Muhajir, Noeng. 1993. Metodologi Penelitian
Kualitatif. Yogyakarta :Rake Sarasin.
Nasution, Harun.1982. Pembaharuan dalam Islam:
Sejarah Pemikiran dan Gerakan. Jakarta : Bulan Bintang.
Powers, David S. 1986. Studies in Quran and
Hadith : The formation of Islamic of Inheritance, Berkley: University of
California Press.
Rahardjo, Satjipto. 1980. Hukum dan Masyarakat. Bandung :
Angkasa
Rahman, Fazlur.1970. Toward Reformulating the Methodology of Islamic
Law : Shaikh Yamani on Public Interest in Islamic Law. International Law and
Politic.
Rahman, Fazlur.1980. Major Themes of the Quran. Chicago :
Bibliotheca Islamic.
Rasyid, Roihan A.. 1998. Hukum Acara Peradilan
Agama. Jakarta : Rajawali Pers.
Sabuni, Muhammad Ali as-. 1972. Rawai’ al Bayan
:Tafsir Ayat al-Ahkam min Alquran. Kuwait : Dar Alquran al-Karim.
Schacht, Joseph.1960. “Problems of Modern Islamic Legislation”.
Dalam Studica Islamica, vol. 12, hlm. 120.
Schacht, Joseph.1971. An Introduction to Islamic
Law. London :Oxford at the Clarendon Press.
Siraj, Muhammad. 1993. “ Hukum Keluarga di Mesir dan
Pakistan “ dalam Islam, Negara dan Hukum. Seri INIS XVI Kumpulan Karangan di Bawah
Redaksi Johannnes den Heijer, Syamsul Anwar. Jakarta : INIS. Hlm. 99-115.
Sutiyoso, Bambang.2000. “ Kemandirian Hakim dan
Implikasinya Terhadap Penegakan Hukum”., dalam Jurnal Penelitian Logika –
Logika, Hipotetiko, Verifikasi, Volume 3, Nomor 4, 1999. Yogyakarta : Lembaga
Penelitian Universitas Islam Indonesia, hlm, 105-118.
Syahrastani, asy-. Tanpa Tahun. Al-Milal wa an-Nihal. Beirut : Dar al-Fikr.
Syahrur, Muhammad. 1990.al-Kitab wa Alquran
Qiraah Mu’asirah. Qahirah : Sina li al- Nasyr wa al-Ahali.
Syatibi, Asy.Tanpa Tahun. Al-Muwafaqat fi Usul asy- Syari’ah.
Kairo : Mustafa Muhammad.
Syawaf, Munir Muhammad Tahir.1993. Tahafut
al-Qira’ah al-Mu’asirah. Limassol – Cyprus.
Thalib, Sajuti.1982. Receptio a Contrario (Hubungan Hukum Adat
dengan Hukum Islam). Jakarta : Bina Aksara.
Tim Redaksi. 1996.Insklopedi Islam. Jakarta:
P.T. Ichtiar Baru van Hoeve
Wahjono, Padmo.1996. “Budaya Hukum Islam dalam Perspektif Hukum di
Indonesia Masa Datang, dalam Amrullah ahmad dkk (Ed.) Dimensi Hukum Islam
dalam Sistem Hukum Nasional Mengenang 65 TH Prof. Dr. H. Busthanul Arifin SH.
Jakarta : Gema Insani Press. Hlm.167-176.
Yusdani. 2000. Peranan Kepentingan Umum Dalam Reaktualisasi Hukum
: Kajian Hukum Islam Najamuddin At-Tufi. Yogyakarta : UII-Press.
Zahrah, Muhammad Abu. Tanpa Tahun.Usul
al-Fiqh. Mesir : Darul Fikr al-Arabi.
.
----------------------------
0 komentar :
Post a Comment